Saturday, March 19, 2016

Bila pemimpin Jakarta, tidak bisa mengangkat kumpulan ide dan problema untuk garis besar visi dan misi Jakarta dalam buku buku ini. Maka pemimpin itu belum bisa mengangkat aspirasi warga Jakarta.

Satu musuh utama kesadaran humanis-kritis adalah lupa. Lupa dapat terjadi melalui beragam cara. Orang dapat lupa karena rasa takut atau rasa malu. Orang juga dapat lupa karena dibuat oleh sesamanya. Lupa yang diakibatkan oleh faktor-faktor yang disebut barusan adalah sebentuk penyangkalan atas kenyataan. Maka, dalam situasi semacam itu, mengingat adalah sebentuk aksi subversif. Ingatan para korban kekerasan dan ketidakadilan, misalnya, merupakan ingatan berbahaya bagi rezim yang berkuasa. Akan tetapi, bagi para korban itu sendiri, ingatan yang diterima dan dikisahkan merupakan satu-satunya cara untuk tetap waras alias sadar. Sebuah masyarakat yang menolak untuk memberi ruang bagi ingatan para korban kekerasan dan ketidakadilan, ditakdirkan untuk runtuh, sebab ingatan dan pengisahan adalah dasar terbentuknya masyarakat manusia. Setiap masyarakat manusia disusun berdasarkan narasi tertentu. Setiap narasi memanfaatkan simbol-simbol yang mewakili kenyataan hidup. Maka sebenarnya setiap narasi mendekatkan manusia pada dirinya sendiri dan dunianya. Narasi para korban adalah salah satunya. Membungkam narasi para korban sama saja menyangkal kenyataan. Kesepuluh artikel yang dihimpun dalam buku ini disatukan oleh satu keprihatinan: betapa bangsa kita cenderung melupakan beragam narasi para korban. Apakah karena sifat bangsa kita yang cenderung memaafkan? Tetapi, memaafkan tidak sama dengan melupakan. Memaafkan berarti menciptakan masa depan dari masa lalu, sesuram apa pun masa lalu itu. Masa lalu harus terlebih dulu diterima sebelum dapat dimaafkan. Lupa menciptakan keraguan dan keraguan mencekik harapan. Artikel pembuka menyinggung tema peran militer dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Sedikit latar belakang historis dipaparkan di situ. Menyusul artikel tentang tragedi Mei yang tidak kunjung jelas ujung pangkalnya. Peran militer dalam tragedi tersebut tidak dapat disangkal. Tragedi disusul tragedi. Artikel ketiga menelisik keanehan tragedi Cebongan. Satu kesimpulan dapat ditarik, bahwa tragedi terjadi karena polisi yang tidak profesional dan karena itu perlu direformasi. Reformasi lembaga polisi semakin mendesak mengingat wilayah Indonesia telah menjadi salah satu hot spot mafia internasional. Hal itulah yang dipaparkan dalam artikel berikutnya. Relasi antara polisi dan kelompok milisi semacam preman jelas menguntungkan pihak penguasa tetapi merugikan masyarakat umumnya. Kolaborasi kedua dunia itu dibahas dalam artikel kelima. Di tengah ketidakseriusan penguasa dalam menjalankan amanat dari rakyat, masyarakat justru semakin dewasa dalam memilih para pemimpinnya. Hal itu tercermin dalam Pilkada Jakarta. Peran seni dan pendidikan nasional tentu sangat menentukan dalam pendewasaan sikap demokratis masyarakat. Kedua tema itulah yang menutup rangkaian artikel dalam buku kecil ini.



No comments:

Post a Comment